Ribuan Warga Pelalawan Tuntut Keadilan atas Relokasi dari TNTN, Dipertanyakan Proses Penetapan tapal batas Kawasan Hutan

Pelalawan (Sahabatlincah.com) - Ribuan masyarakat mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan, Riau telah menggeruduk areal kantor Gubernur Riau di Pekanbaru.
Kedatangan ribuan warga Pelalawan itu, untuk menyuarakan kegelisahan dan ancaman kehidupan mereka semenjak kehadiran Satgas PKH menancapkan kukunya di wilayah TNTN.
Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang menertibkan kawasan hutan lindung melalui Satgas Penanganan Kawasan Hutan (PKH). Warga merasa kebijakan ini tidak adil dan mengabaikan sejarah panjang kehidupan mereka di kawasan tersebut.
“Kami bukan perambah dan bukan orang pendatang. Kami petani juga memiliki KTP Pelalawan yang ingin hidup layak. Lahan itu warisan turun-temurun, bukan hasil rampasan,” tegas Wendri Simbolon, koordinator aksi, pada Rabu (18/06).
Ia juga meminta agar Gubernur Riau, Kapolda Riau, Kejati Riau, dan Bupati Pelalawan memfasilitasi pertemuan langsung warga dengan Presiden RI dan DPR RI.
Gubernur Riau, Abdul Wahid, menyatakan bahwa relokasi dan penertiban kawasan konservasi merupakan kebijakan nasional. Namun ia berkomitmen untuk mengadvokasi aspirasi warga ke pemerintah pusat.
"Beri kami waktu satu bulan untuk menjembatani persoalan ini untuk komunikasi ke pusat. Dan kami tak ingin memberi janji, " katanya.
Pernyataan ini diterima sebagai bentuk kesepakatan awal oleh perwakilan massa, namun mereka menegaskan bahwa tidak akan pindah sebelum ada kejelasan dan ganti rugi layak atas kebun sawit dan rumah mereka.
Sementara secara terpisah, dalam suatu diskusi publik “Menakar Kebijakan Industri Sawit Menuju Indonesia Emas 2045” yang diikuti melalui akun Youtube Tempo Impresario, Senin lalu, dimana Guru Besar IPB Prof.Budi Mulyanto secara terpisah mengatakan, salah satu persoalan yang terjadi selama ini dalam sengketa hutan negara karena penetapan kawasan hutan umumnya tidak akurat. Sehingga dapat menimbulkan masalah di tengah masyarakat.
Hal itu menjadi problem mendasar yang juga menjadi dasar kerja Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PKH).
Menurutnya, banyak penetapan kawasan hutan yang tidak melalui prosedur Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999. Penetapan kawasan hutan saat ini banyak yang melompat proses. Seharusnya ada inventarisasi, penunjukan, tata batas, pemetaan, dan baru penetapan. Tapi kenyataannya, langsung ditetapkan tanpa tahapan lengkap,” ujar Budi.
Ia menilai bahwa referensi yang digunakan Satgas PKH dalam menjalankan tugasnya masih jauh dari akurat. Salah satu contohnya, kata Budi, adalah penggunaan peta dengan skala yang terlalu kasar, yakni 1:500.000. Dalam skala tersebut, satu milimeter pada peta mewakili 500 meter di lapangan. Akibatnya, kesalahan interpretasi bisa mencapai puluhan hingga ratusan hektare.Kalau pakai spidol saja lebarnya 2 milimeter, artinya bisa mencakup hingga 100 hektare.
Jadi, peta kawasan hutan hari ini tidak merepresentasikan kondisi riil di lapangan,” jelas Prof. Budi yang juga Kepala Pusat Studi Sawit IPB University.
Lebih jauh, Budi mengungkapkan bahwa banyak tanah rakyat berada di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan. Berdasarkan catatannya, dari 31,8 juta hektare yang tercatat sebagai kawasan hutan, sebagian besar sudah tidak berhutan dan dihuni atau dikelola masyarakat.
Pada Pasal 13 UU Kehutanan jelas mengatakan, jika ada hak atas tanah, maka itu bukan kawasan hutan. Tapi di lapangan, batas luar kawasan hutan ditetapkan tanpa kontradiktur limitasi, tanpa melibatkan masyarakat. Ini jadi akar persoalan,” tambahnya.
Budi mendukung keberadaan Satgas PKH sebagai bentuk afirmasi negara dalam menata ulang kawasan hutan. Namun, ia menekankan bahwa pendekatannya harus kolaboratif, bukan represif.
Kalau Satgas PKH bekerja dengan niat baik, maka penertiban ini harus dilakukan bersama rakyat, bukan dengan mengabaikan mereka. Harus ada perbaikan referensi hukum, pendekatan partisipatif, dan keterlibatan masyarakat serta media,” tegasnya.
Ia mengakhiri dengan harapan agar proses reformasi tata kelola kawasan hutan tidak hanya mengutamakan kepentingan negara, tetapi juga memberi tempat bagi hak-hak rakyat yang sudah lama menempati lahan tersebut, "ungkap Prof Budi.*(Tim)
Tulis Komentar