Review film Barbie: Greta Gerwig dan Noah Baumbach Mengadaptasi Dunia Boneka dengan Kelucuan

Review film Barbie: Greta Gerwig mampu menjawab ekspektasi dengan hasil yang brilian, bahkan agak meleset dari perkiraan. (Warner Bros. Pictures via IMDb)

JAKARTA - Saya berangkat menyaksikan Barbie dengan ekspektasi cukup tinggi, mengingat kepuasan saya ketika menonton dua film Greta Gerwig sebelumnya. Film adaptasi boneka Mattel ini juga 'diarak' dengan promosi gila-gilaan jelang perilisan.

Hasilnya pun brilian, bahkan agak meleset dari perkiraan awal. Film tersebut menyajikan tontonan komedi out of the box, bagaikan boneka Barbie yang keluar dari kotak mainannya.

Saya tak menyangka Greta Gerwig dan Noah Baumbach mengadaptasi dunia boneka itu dengan kelucuan yang begitu liar. Ada banyak sekali referensi budaya pop yang diselipkan dalam berbagai candaan sepanjang film.

Kegilaan komedi itu terus disuguhkan oleh Greta hingga tak henti mengundang tawa. Film itu bahkan tak segan menyenggol Mattel serta sang kreator boneka Barbie, Ruth Handler.

Elemen komedi itu menjadi salah satu aspek vital yang membantu Barbie menjadi blockbuster yang menghibur dan segar. Namun di samping itu, Barbie juga tak luput menyuguhkan komentar sosial terhadap berbagai isu.

Cerita Barbie (Margot Robbie) menghadapi krisis jati diri disulap Gerwig menjadi petualangan melihat dunia nyata yang penuh ketimpangan. Suatu hal yang kontras dari Barbie Land, dunia boneka yang serba sempurna dan terkesan utopis di mata manusia.

Ketimpangan itu kemudian dijabarkan menjadi berbagai bahasan yang disorot tajam sang sutradara. Seperti isu kapitalisme, patriarki, feminisme, hingga ketimpangan lainnya.

Sesungguhnya bobot cerita yang berat dan progresif ini bukan hal baru dari Greta Gerwig. Ia juga menyuarakan isu serupa ketika mengerjakan Lady Bird (2017) serta Little Women (2019).

Namun, Gerwig membuktikan bahwa dia mempunyai kemampuan penyutradaraan dengan jangkauan yang luas. Ia sanggup mengemas Barbie menjadi kombinasi meta antara komedi penuh warna dengan cerita yang progresif dalam satu paket.

Meski begitu, tak bisa dipungkiri juga bahwa beberapa adegan atau dialog yang muncul terlampau pretensius dan menggurui. Saya sempat mengernyitkan dahi pada beberapa adegan, entah karena beda cara memahami konteks atau memang terlampau berlebihan.

Saya juga merasa terlalu banyak ide dan gagasan yang berusaha dilontarkan Gerwig pada film ini. Hal itu lagi-lagi membuat saya sulit untuk bisa memahami secara menyeluruh setiap pesan yang berusaha diangkat.

Terlepas dari itu, ada satu keputusan Gerwig yang patut diapresiasi, setidaknya di mata saya pribadi. Sutradara itu cukup piawai dalam mengemas cerita Barbie yang penuh emansipasi tanpa menjadi radikal atau berambisi mendominasi.

Film Barbie pada akhirnya tetap menang jika bisa mengisi tempat spesial di hati perempuan serta membuka mata laki-laki di berbagai penjuru dunia.

Ia tampak paham bahwa tatanan sosial yang ideal bisa terjadi ketika laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama. Tidak ada yang timpang atau berusaha menindas satu sama lain.

Pesan itu ditunjukkan dengan cara Gerwig memberikan kesempatan bagi Ken (Ryan Gosling) menemukan jati dirinya. Saya pun merasa 'dikenali,' seperti Ken yang pada akhirnya sadar bahwa dia bukan hanya boneka pelengkap Barbie.

Dunia Barbie Land yang diciptakan Gerwig juga patut diacungi jempol. Ia berhasil membangun dunia penuh warna pink dan pastel lain yang memanjakan mata.

Desain produksi Barbie terlihat begitu megah dengan segala detail akurat dalam aspek kostum, rumah, dan berbagai aktivitas yang dilakukan anak-anak di dunia nyata bersama bonekanya.

Saya rasa desain produksi film ini sangat layak untuk mendapatkan satu nominasi Piala Oscar tahun depan. Sebab di samping kemegahan visual, desain Barbie Land itu juga membantu cerita menjadi semakin akurat.

Akurasi film ini dengan boneka aslinya terbilang cukup tajam berkat kecermatan Gerwig. Hal itu terlihat dari gerak-gerik karakter yang diatur sedemikian rupa agar seperti boneka sungguhan.

Seperti ketika Barbie bisa berganti-ganti baju sesuka hati, berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa perlu jalan kaki, hingga beraktivitas layaknya boneka mainan yang pura-pura makan dan minum.

Imajinasi Gerwig itu juga berhasil diterjemahkan oleh para pemeran sehingga menjadi begitu nyata. Margot Robbie, sang Barbie, tentu saja sanggup menjawab ekspektasi semua orang dengan menjadi Barbie yang menawan.

Namun di samping pancaran pesona Robbie, ada Ryan Gosling yang selalu mencuri perhatian setiap kali muncul dalam adegan. Ia menyulap Ken menjadi karakter yang konsisten konyol sekaligus jenaka.

Satu nominasi Oscar lain untuk Barbie rasanya patut disematkan kepada Ryan Gosling berkat penampilan briliannya.

Duo pemeran utama itu juga berhasil bersinar berkat penampilan aktor pendukung yang bertabur bintang. Terdapat pula beberapa nama yang performanya cukup membekas, seperti America Ferrera, Issa Rae, Simu Liu, Kingsley Ben-Adir, serta Michael Cera.

Sebagian besar ekspektasi saya terhadap Barbie pun dijawab dengan meyakinkan oleh Greta Gerwig. Barbie juga membawa cerita segar bagi Hollywood, meski pun rasanya sulit untuk menobatkan film ini menjadi yang terbaik tahun ini.

Namun, predikat film terbaik sepertinya bukanlah tujuan utama Barbie atau Greta Gerwig. Film itu pada akhirnya tetap menang jika bisa mengisi tempat spesial di hati perempuan serta membuka mata laki-laki di berbagai penjuru dunia. (cnnindonesia)

TERKAIT