Review They Cloned Tyrone: Misteri Aneh yang Memuaskan

They Cloned Tyrone dapat disaksikan di Netflix.

JAKARTA - Di tengah gempuran Barbenheimer yang memaksa semua orang untuk bangkit dari sofa mereka dan pergi ke bioskop, Netflix diam-diam merilis They Cloned Tyrone. Tanpa promosi yang menghebohkan, film ini tiba-tiba muncul dan ternyata ia memberikan kejutan yang menyenangkan. Bayangkan film blaxpoitation tahun 70-an, tambahkan unsur sci:fi, aduk dengan sedikit kegilaan Scooby Doo kemudian tuang social commentary ala Get Out maka Anda akan mendapatkan film ini.

Di sebuah lingkungan African American yang stereotipikal, kita bertemu dengan Tyrone (John Boyega), seorang penjual narkoba yang sepertinya kelihatan normal. Hubungannya dengan si ibu tidak berfungsi karena si ibu masih berduka atas kematian anak bungsunya. Hari itu Tyrone menjalani hari seperti biasanya. Ia menagih utang ke muncikari bernama Slick Charles (Jamie Foxx) yang tinggal di sebuah motel bersama 'karyawannya' yang bernama Yo-Yo (Teyonah Parris). Ketika pulang, Tyrone berhadapan dengan 'musuhnya' dan meninggal dunia setelah beberapa kali terkena tembakan.

They Cloned Tyrone kemudian menunjukkan jati dirinya ketika esok hari kita bertemu dengan Tyrone yang bangun dalam keadaan sehat walafiat. Dia tidak mempunyai memori soal hari kemarin. Itu sebabnya ketika ia bertemu lagi dengan Slick, si muncikari itu terkejut luar biasa. Bersama dengan Slick dan Yo-Yo, Tyrone akhirnya mencoba untuk mencari tahu bagaimana ini semua bisa terjadi.

They Cloned Tyrone adalah sebuah film yang sangat unik. Setting waktunya sebenarnya adalah zaman sekarang tapi semua estetika yang muncul di layar seperti film-film tahun 70-an. Warna cokelat memenuhi layar. Belum lagi bintik-bintik (atau bahasa teknisnya film grain) yang ada di layar membuatnya seolah-olah ia adalah sebuah film yang direkam dan ditayangkan menggunakan seluloid. Tabrakan konten dan estetik ini langsung membuat saya tertarik untuk menyaksikan film ini secara utuh. Apa yang sutradara dan penulis Juel Taylor (ia menulis bersama Tony Rettenmaier) coba katakan? Jawabannya banyak.

Saya tidak akan mengacaukan kejutan yang ditawarkan oleh film ini tapi They Cloned Tyrone dari awal sampai akhir mempunyai banyak twist yang menarik. Dari awal sampai kematian Tyrone, film ini berjalan seperti kebanyakan film drama komedi. Ketika akhirnya penonton diajak untuk melihat apa yang terjadi, di sinilah They Cloned Tyrone bermain-main. Film ini serius, tapi dalam merangkai misteri dan komedinya sangat lincah. Respons karakternya dalam menghadapi keanehan yang terjadi sungguh di luar dugaan dan itu hanya sedikit contoh betapa serunya film ini.

Kalau pun Anda tidak begitu peduli dengan keanehan atau social commentary yang ditawarkan, They Cloned Tyrone tetap bisa dinikmati sebagai film komedi. Komedi dalam film ini berjalan dengan sangat baik berkat chemistry tiga pemeran utamanya yang baik. Boyega, Foxx dan Parris lebih dari kompeten untuk mengunyah semua adegan yang ada. Jamie Foxx membuat saya tertawa berkali-kali berkat one liner-nya yang sungguh lucu. Parris mendapatkan kesempatan untuk tampil agak lebih slapstick. Boyega sementara itu di awal-awal harus tampil serius tapi ia ikut menjadi gila begitu keanehan film ini mulai muncul.

Pada akhirnya They Cloned Tyrone memang bukan untuk semua orang. Tapi sebagai sebuah film dengan konsep yang kuat, film ini berhasil melakukan apa yang ia mau. They Cloned Tyrone mungkin tidak bisa menyaingi kepopuleran Barbenheimer hari ini. Tapi ini adalah jenis film yang akan menemukan penontonnya suatu hari nanti. Di tangan penonton yang tepat, They Cloned Tyrone adalah calon cult classic yang akan menjadi idola. (detik)

TERKAIT