Kritik Keras Dua Eks Pimpinan KPK soal Polemik Kasus Basarnas

Jakarta -- Dua mantan pimpinan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Saut Situmorang mengeluarkan kritik keras terhadap penanganan kasus dugaan suap yang menyeret Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsdya Henri Alfiandi.

Abraham Samad menilai apa yang dilakukan pimpinan KPK saat ini memalukan dalam penanganan kasus tersebut. Samad menyebut setiap tahap operasi tangkap tangan (OTT) dan pengambilan keputusan menetapkan seorang tersangka pasti melibatkan pemimpin tertinggi lembaga antirasuah.

Menurutnya penetapan tersangka Marsdya Henri dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto yang diumumkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, lalu diralat Wakil Ketua KPK Johanis Tanak adalah sebuah kekeliruan.

"Karena setiap keputusan diambil oleh pemimpin KPK, maka menurut saya kejadian dan kekisruhan kemarin yang tiba-tiba Alex mengumumkan (tersangka), lalu dianulir oleh Tanak, ini adalah tindakan yang dungu dan memalukan," kata Samad kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (29/7).

Samad mengatakan berdasarkan UU KPK, setiap keputusan strategis ditetapkan secara kolektif kolegial oleh lima pimpinan. Dengan begitu, kisruh penetapan tersangka ini menjadi tanggung jawab mutlak para pimpinan KPK.

"Tidak sepantasnya pimpinan KPK menyalahkan penyidik atau penyelidiknya, karena tanggung jawab itu harus dipikul oleh pimpinan KPK," imbuhnya.

Tak jauh berbeda, mantan Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang menyebut pimpinan KPK kali ini sangat tidak fokus dalam menangani kasus suap pejabat Basarnas. Ia menyayangkan sebab pimpinan lembaga antirasuah itu seharusnya paham bagaimana mengurus OTT.

"Ini gambaran pimpinan KPK sudah tidak fokus lagi pada kerja-kerja pemberantasan korupsi yang kompetitif. Masing-masing (pimpinan KPK) selain memiliki masalah dengan karakter dan integritas, juga memiliki masalah tentang kompleksitas OTT," kata Saut kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (29/7).

Saut selanjutnya menegaskan ketika peristiwa pidana sudah terjadi, maka tidak ada alasan menghentikan kasus suap Basarnas ini. Saut menyebut urusan formil dan materil kasus ini akan diusut oleh siapa, hanya masalah manajerial.

Ia juga mengingatkan KPK bukan pertama kalinya menangani kasus terkait pejabat TNI aktif. Saut menyinggung KPK pernah mengurus kasus korupsi helikopter AW-101 yang menyeret sejumlah anggota.

"Bahkan, ini sudah jelas saat ketika penyelidikan dimulai yang berujung OTT itu, mereka sudah tidak paham mana yang prioritas dan yang bukan. Intinya sangat tidak fokus," ujarnya.

Merespons banyaknya kritik yang dilayangkan pada pimpinan KPK, Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan polemik penangan kasus dugaan suap yang menyeret Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi menjadi tanggung jawab penuh pimpinan lembaga antirasuah.

"Seluruh proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh segenap insan KPK, serta berbagai upaya pencegahan dan pendidikan antikorupsi, adalah tanggung jawab penuh pimpinan KPK," kata Firli dalam keterangan tertulis, Sabtu (29/7).

Firli menceritakan KPK melakukan kegiatan tangkap tangan dugaan tindak pidana korupsi di Basarnas pada Selasa (25/7) lalu. KPK, kala itu telah mengamankan 11 orang beserta barang bukti transaksi dugaan suap berupa uang tunai sejumlah Rp999,7 juta.

Firli kemudian memastikan KPK telah melakukan penyelidikan untuk menemukan peristiwa pidana yang dibuktikan adanya bukti permulaan yang cukup. Setelah bukti permulaan ditemukan, Firli mengatakan KPK menaikkan status perkara ke tahap penyidikan dan menetapkan para tersangka.

"Seluruh rangkaian kegiatan oleh KPK dalam kegiatan operasi tangkap tangan, penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan para pelaku sebagai tersangka telah sesuai prosedur hukum dan mekanisme yang berlaku," kata dia.

Firli memahami ada pihak berstatus oknum TNI aktif yang terjerat dugaan kasus ini yang memiliki mekanisme tersendiri di peradilan militer. Karena itu, ia memastikan proses gelar perkara pada kegiatan OTT ini telah melibatkan pihak polisi militer (POM) TNI sejak awal.

"Melibatkan POM TNI mengikuti gelar perkara sampai dengan penetapan status perkara dan status hukum para pihak terkait," ujarnya.

Adapun buntut polemik ini bermula saat Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto sebagai tersangka kasus suap pada Rabu (26/7).

Keduanya merupakan anggota TNI aktif. Henri diduga menerima suap lewat Afri sebesar Rp88,3 miliar dalam proyek di Basarnas.

"KPK menetapkan dan mengumumkan tersangka sebagai berikut. MG (Komisaris Utama PT MGCS), MR (Dirut PT IGK), RA (Direktur Utama PT KAU), HA Kabasarnas RI 2021-2023 dan ABC (Koorsmin Kabasarnas RI)," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam jumpa pers di Kantornya, Jakarta, Rabu (26/7).

Namun, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang didatangi rombongan TNI pada Jumat (28/7) mengaku khilaf dan meminta maaf atas penetapan tersangka dua anggota militer tersebut. Tanak menyebut ada kekeliruan dalam koordinasi kasus ini.

"Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI. Atas kekhilafan ini, kami mohon dimaafkan," kata Tanak.(cnn)

TERKAIT