Anggota DPR RI Siti Esa: Rakyat di Taman Nasional Tesso Nilo Bukan Perambah, Mereka Adalah Bagian dari Sejarah

Jakarta (sahabatlincah.com) - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Siti Esa, dari Daerah Pemilihan Riau 2, menyampaikan pernyataan resmi dalam Rapat Paripurna DPR RI mengenai situasi yang dialami masyarakat di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo.
“Introduksi pimpinan, saya Siti Esa, PDI Perjuangan Dapil Riau 2. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua. Yang saya hormati pimpinan DPR RI, yang saya hormati rekan-rekan DPR RI, dan seluruh rakyat Indonesia, khususnya masyarakat di sekitar Taman Nasional Tesso Nilo yang hari ini sedang memperjuangkan haknya.”
Dalam kesempatan itu, Siti Esa memberikan apresiasi kepada Presiden Prabowo Subianto yang dinilainya telah bertindak cepat menangani berbagai persoalan rakyat di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Aceh, Papua, dan kawasan perbatasan laut.
Siti menyuarakan jeritan 35.000 warga di Kabupaten Indragiri Hulu dan Pelalawan, Provinsi Riau, yang kini terancam kehilangan tanah dan sumber penghidupan. Ia menggambarkan situasi masyarakat yang menangis, lemah, dan tertindas dihadapkan pada kemiskinan mendadak, kelaparan, potensi putus sekolah, kehilangan tempat tinggal, hingga krisis sosial dan psikologis yang mendalam.
“Kami di sini bukan hanya sebagai wakil rakyat, tetapi sebagai suara mereka yang selama ini terpinggirkan. Mereka yang sering dicap sebagai perambah hutan atau pelanggar hukum. Padahal mereka bukan perusahaan, mereka adalah bagian dari sejarah kawasan itu sendiri.”
Siti Esa menekankan bahwa sebelum kawasan itu ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat telah lebih dahulu tinggal dan membangun kehidupan secara sah dengan KTP, sekolah, rumah ibadah, hingga surat-surat penguasaan lahan, termasuk dari tokoh adat, kepala desa, serta sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Bahkan, terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang mengakui tanah tersebut sebagai milik rakyat.
Ia juga menyinggung status awal kawasan itu sebagai HPK (Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi), yang bahkan pernah dikelola oleh Perhutani. Fakta-fakta historis ini, menurutnya, sering kali dihapus dalam narasi sepihak yang menyudutkan warga.
“Apakah adil jika rakyat yang lebih dahulu hadir tiba-tiba dianggap pendatang ilegal? Apakah pantas bila mereka yang bertahun-tahun menggantungkan hidup di atas tanah itu dianggap musuh negara?”
Siti Esa menyerukan penguatan prinsip demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan negara sebagai pelayan, bukan penguasa atas rakyat.
“Konservasi dan pelindungan lingkungan tidak boleh bertentangan dengan keadilan sosial. Konservasi yang memiskinkan rakyat adalah kegagalan moral dalam pengelolaan lingkungan.”
Ia mengajukan tiga tuntutan utama:
Menolak labelisasi “perambah hutan” terhadap masyarakat yang lebih dahulu hadir di kawasan Taman Nasional Bukit Tiga dan Taman Nasional Tesso Nilo.
Menghentikan segala bentuk intimidasi, penggusuran, dan kriminalisasi terhadap rakyat.
Mendorong penyelesaian konflik berbasis dialog, sejarah penguasaan tanah, serta partisipasi aktif masyarakat.
Di akhir pernyataannya, Siti Esa menegaskan keyakinannya bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan bersikap bijak dan berpihak pada rakyat.
“Rakyat bukan perambah, rakyat bukan musuh negara. Rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik sejarah, dan penjaga masa depan bangsa. Dan kami yakin, pemerintah Bapak Prabowo adalah pemerintah yang bijak dan akan berpihak kepada kepentingan rakyat.” tutupnya (*)
Tulis Komentar